
BOBIE.INFO. Matabu, Bartim, Kalteng. Sudah terbit tanggal 26 Mei 2026, 16:12. WIB di Liputan6. Com. Menteri PPPA menyatakan bahwa ini bentuk kekerasan seksual dan harus diberi efek jera agar tak terulang. (Merdeka.com/Nur Habibie)
Liputan6.com, Jakarta – Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menjadi sorotan setelah terungkap kasus pernikahan dini yang melibatkan anak berusia 15 dan 17 tahun di Lombok Tengah.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram telah melaporkan kasus ini ke Polres Lombok Tengah sebagai bentuk penegakan hukum terhadap praktik pernikahan anak yang melanggar Undang-Undang Perkawinan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menegaskan bahwa pernikahan dini yang dilakukan di bawah umur merupakan bentuk kekerasan seksual.
“Pemerintah Indonesia telah berkomitmen melindungi hak anak dan mencegah pernikahan di bawah usia 19 tahun sesuai Undang-Undang Perkawinan,” kata Arifah dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 26 Mei 2025.
“Bahkan, dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 4, pemaksaan perkawinan anak termasuk kekerasan seksual,” tambahnya.
Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, menjelaskan, pasangan pernikahan dini di NTB tersebut adalah SY (15) dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR (17) dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
Pernikahan Dini di NTB Sempat Dicegah
Kasus pernikahan anak di NTB jadi sorotan. Menteri PPPA menyatakan bahwa ini bentuk kekerasan seksual dan harus diberi efek jera agar tak terulang. (sumber: AI)
“Kami melaporkan seluruh pihak yang terlibat aktif dalam proses pernikahan dini ini, termasuk orang tua dan pihak penghulu yang menikahkan,” kata Joko seperti dikutip dari Antara.
Pernikahan yang sempat dicegah oleh pemerintah desa setempat itu tetap berlangsung secara diam-diam tanpa sepengetahuan aparat desa.
Upaya pencegahan dilakukan berkali-kali. Namun, kedua pihak keluarga tetap ngotot untuk melangsungkan pernikahan.
Bahkan, setelah pernikahan terjadi, aparat desa melarang pelaksanaan prosesi adat nyongkolan yang kemudian viral di media sosial.
Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah, Iptu Luk Luk Il Maqnun, membenarkan laporan tersebut. “Laporan baru masuk. Kami akan memanggil saksi-saksi dan pihak terkait untuk pendalaman kasus ini,” katanya.