BOBIE.INFO. TELAGA. Matahari mulai meninggi ketika kaki akhirnya menginjak Pelabuhan Pakahi di Desa Jahanjang, Kecamatan Kamipang. Tepat pukul 11.00 WIB, setelah menempuh perjalanan darat berjam-jam yang menguras tenaga, aku menarik napas lega. Pelabuhan kecil ini ramai oleh nelayan yang baru kembali dari laut dan pedagang yang menjajakan ikan segar. Bau air asin bercampur aroma kopi dari warung tepian membangunkan kesadaranku yang sempat lelah. Di sini, aku akan transit sebentar sebelum melanjutkan perjalanan dengan taksi air—klotok—menuju kampung halaman, Desa Telaga.
Pukul 11.30 WIB, klotok kuning tua yang akan membawaku perlahan merapat. Mesinnya sudah mendengkur khas, siap mengarungi sungai yang membelah hutan bakau. Aku segera naik, duduk di bangku kayu dekat kemudi. Begitu klotok bergerak, angin sepoi-sepoi menyapu wajah, menghapus sisa lelah. Di kiri-kanan, pepohonan rimbun menjulang bak tembok hijau, sesekali terlihat burung bangau terbang rendah menyambar ikan. Sungai ini hidup: anak-anak kecil melambaikan tangan dari rumah panggung, perahu nelayan berlalu-lalang, dan riak air berkilauan tertimpa matahari.
Perjalanan dua jam pun terasa singkat. Pukul 13.30 WIB (bukan 01.30—mungkin terjadi kesalahan penulisan), klotok perlahan merambat ke dermaga Desa Telaga. Jantung berdegup kencang; kampung halaman yang kutunggu sejak lama akhirnya terlihat. Rumah panggung berjajar di tepian, pohon kelapa yang dulu kupanjat kini menjulang lebih tinggi, dan bau tanah basah setelah hujan pagi menyambutku seperti pelukan. Di kejauhan, sosok Ibu sudah berdiri di ujung jalan, melambai-lambaikan tangan. Senyumnya, dari jarak sepuluh meter saja, sudah sanggup menghapus semua penat.
“Akhirnya sampai juga,” bisikku dalam hati. Desa Telaga, dengan segala kesederhanaannya, tetap menjadi tempat yang paling dirindukan. Perjalanan panjang ini—dari jalan raya yang berdebu, hingar-bingar pelabuhan, hingga gemericik sungai—semua terbayar lunas di depan pelabuhan kecil kampung halaman. (bobie)