
BOBIE.INFO. Matabu. Kita sibuk bangun future-proof anak: les Inggris sejak TK, kursus Mandarin online, latihan pidato bahasa Indonesia buat lomba sekolah…
Tapi tanpa sadar, di meja makan yang sama, kita biarkan bahasa ibu—warisan nenek moyang yang 500 tahun usianya—menghilang pelan-pelan.
Apa yang Terjadi?
- Orang Tua:
“Nanti kalau sekolah/kuliah, ngomong Jawa/Sunda/Batak kan nggak kepake…”
“Biarlah fokus ke bahasa global biar sukses!” - Anak:
Bisa cas-cis-cus Inggris, hafal kosakata Jepang lewat anime, tapi bisu saat diajak bicara bahasa daeraholeh neneknya sendiri.
Bahasa Ibu Bukan Sekadar “Kata”
Ini lebih dari sekadar alat komunikasi. Ini adalah:
🔹 Kapsel Pengetahuan Lokal: Istilah tradisi pertanian, ritual adat, obat herbal—tersandi dalam bahasanya.
🔹 Identitas Emosional: Nuansa undak-usuk Jawa, filosofi hidup Sunda, sindiran halus Bali—tak bisa diterjemahkan sempurna.
🔹 Jembatan Generasi: Saat bahasa putus, cerita kakek buyut jadi dongeng asing.
Dampak Nyata yang Mengkhawatirkan
- Kepunahan Bahasa
UNESCO catat: 1 bahasa punah tiap 2 minggu. Di Indonesia, 11 bahasa daerah sudah punah, 25 lagi kritis (sumber: Badan Bahasa).
Contoh:Bahasa Tandia (Papua) tinggal 3 penutur tua. - Krisis Identitas
Studi UI (2022): Anak urban yang tak kuasai bahasa ibunya cenderung mengalami disorientasi budaya—bingung antara “tradisi” dan “trend global”. - Hilangnya Kearifan Lokal
Istilah seperti “siri”(harga diri dalam budaya Bugis) atau “tri hita karana” (keseimbangan alam Bali) tak ada padanannya dalam bahasa lain.
“Tapi Kami Ingin Anak Kompetitif Global…”
Bisa! Trilingualisme (bahasa ibu + Indonesia + asing) justru meningkatkan kecerdasan kognitif (riset MIT, 2021). Caranya:
- Konsisten berbahasa ibu di rumah, bahkan jika campur bahasa lain.
- Jadikan ia “bahasa hati”: Cerita dongeng daerah, nyanyikan lagu pengantar tidur bahasa ibu.
- Kolaborasi dengan sekolah: Dorong muatan lokal bahasa daerah.
Kisah Nyata: Dilema Orang Tua Urban
“Aku orang Jawa asli, tapi anakku cuma ngerti ‘monggo’ dan ‘maturnuwun’. Dia tersenyum kaku saat eyang bicara ngoko. Aku merasa gagal meneruskan denyut bahasa yang seharusnya mengalir di nadinya…”
— Dina, 35 th, ibu 2 anak (Jakarta)
Pesan untuk Generasi Orang Tua Sekarang
Kita tak harus memilih antara merawat akar dan memberikan sayap.
Bahasa ibu adalah akar yang membuat sayap tak mudah patah diterjang badai globalisasi.
✨ Jangan biarkan generasi depan hanya bisa bilang:
“Maaf, saya tak mengerti bahasa leluhur saya sendiri.” (bobie)