
BOBIE.INFO. Matabu, Dusun Timur, Kalteng. Di bawah langit biru yang dijunjung kanopi raksasa, hutan Kalimantan pernah berdiri megah sebagai salah satu ekosistem terkaya di bumi. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, wajahnya telah berubah – sebuah transformasi yang menyimpan cerita pilu sekaligus harapan.
Era 1980-an: Symphony Hijau yang Harmonis
Hutan Kalimantan di masa ini bagai permadani hijau tak berujung. Pepohonan berusia ratusan tahun menjulang setinggi 60 meter, menjadi rumah bagi 15.000 jenis tumbuhan. Di sela-sela akar banir raksasa, orangutan berseliweran bebas, sementara burung enggang menebar magis dengan kepakan sayapnya. Sungai-sungai jernih mengalir deras, menghidupi masyarakat Dayak yang hidup selaras dengan alam.
1990-2000: Luka Pertama yang Dalam
Gergaji mesin mulai menggema. Truk-truk pengangkut kayu keluar-masuk seperti semut, membawa gelondongan-gelondongan besar. Setiap tahun, seluas 1,2 juta hektar hutan lenyap – setara 2 kali lapangan bola setiap menit! Perkebunan sawit mulai merambah, mengubah hutan heterogen menjadi monokultur yang sunyi. Asap pertama kali mengepul ketika pembukaan lahan dengan cara dibakar menjadi kebiasaan.
2005-2015: Api, Asap, dan Tangisan Satwa
Musim kemarau tak lagi biasa. Tahun 2015 menjadi catatan kelam ketika 2,6 juta hektar hutan terbakar. Langit Kalimantan berubah jingga selama berminggu-minggu. Orangutan kehilangan 80% habitatnya dalam 20 tahun. Di Palangkaraya, anak-anak sekolah harus belajar mengenakan masker, sementara di pedalaman, masyarakat Dayak mulai kesulitan mencari obat-obatan hutan yang biasa mereka andalkan.
2018-Sekarang: Luka yang Belum Sembuh, tapi Ada Harapan
Di tengah lahan-lahan yang mengering, tunas-tunas baru mulai tumbuh. Program restorasi gambut menunjukkan hasil – bekas lahan terbakar perlahan menghijau kembali. Teknologi satelit memungkinkan deteksi dini deforestasi. Generasi muda Kalimantan mulai bangkit dengan konsep ekowisata dan pengolahan hasil hutan non-kayu.
Di Taman Nasional Sebangau, populasi orangutan stabil berkat patroli masyarakat. Di Berau, proyek karbon hutan memberikan penghasilan alternatif. Meski tekanan industri tetap ada, suara-suara penjaga hutan semakin nyaring.
Epilog: Sebuah Surat untuk Masa Depan
Hutan Kalimantan kini seperti kakek tua yang bijak namun renta. Setiap pohon yang tumbang adalah halaman sejarah yang terkoyak. Tapi setiap tunas baru yang muncul adalah janji untuk melanjutkan cerita.
Kita berdiri di persimpangan:
- Melanjutkan eksploitasi buta, atau
- Menulis babak baru dimana pembangunan seimbang dengan pelestarian
Pilihannya ada di tangan kita semua. Sebab hutan Kalimantan bukan sekadar hamparan pohon – ia adalah nafas bumi, ruang hidup satwa, dan warisan abadi untuk anak cucu kita. (bobie)